Selembar Kertas Kosong di Venesia

Oleh: Avianti Armand | Rabu, 11 Juli 2018

Di paviliun Indonesia, di area seluas sekitar 250 meter persegi dalam bangunan tua Arsenale di Venesia, selembar kertas raksasa tergantung dari ujung ke ujung, memotong ruang ke dalam dua bagian besar: atas yang terang benderang, dan bawah yang remang. Pada bentang itu, gravitasi terekam dalam satu lengkungan halus dan panjang, seperti sebuah isyarat yang pelan dan penuh perhitungan. Pengunjung dapat berjalan “menembus” ke tengah-tengah kurva melalui celah yang ditoreh pada kertas, atau muncul di sebuah lubang, sedikit di tepi, untuk memperoleh perspektif yang berbeda-beda dari bentang putih tersebut.

Menarik untuk mengamati bagaimana gerak pengunjung seketika melambat ketika memasuki paviliun. Bentang kertas maha lebar ini, selain mengejutkan, juga mensugestikan kerapuhan. Dari ruang selebar hampir 2 meter yang disediakan di salah satu sisi panjang, kita bisa menyaksikan orang-orang berkisar  sekitar kertas tersebut dengan pelahan. Lembar tipis dan semi transparan itu seperti menuntut mereka untuk berhati-hati menikmatinya.

Paviliun Indonesia mempesona dalam kesederhanaannya. Meski tidak memperoleh penghargaan resmi dari para juri Biennale Architettura 2018, La Biennale di Venezia, beberapa kali ia dipilih sebagai paviliun favorit oleh terbitan-terbitan independen, seperti metropolismag.com, atribune.com, dan assemblepapers.com.au.

Pada keikutsertaan yang kedua dalam pameran arsitektur internasional di Venesia ini (yang pertama adalah di tahun 2014), Indonesia diwakili oleh tim kurator yang terdiri dari Ary Indra, David Hutama, Adwitya Dimas Satria, Jonathan Aditya Gahari, Ardy Hartono Kurniawan, dan Johanes Adika Gahari. Tim ini memenangkan sebuah sayembara terbuka yang diselenggarakan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), bekerja sama dengan Badan Ekonomi Kreatif, yang juga menjadi sponsor utama kegiatan ini.

Tema besar Pameran Arsitektur Internasional ke-16 di Biennale Venesia kali ini adalah “Freespace”. Kurator utama, Yvonne Farrell and Shelley McNamara – dari Grafton Architects yang berpusat di Dublin, menggunakan frasa tersebut untuk menjadi titik tolak guna menanggapi situasi arsitektur kontemporer, di mana peran arsitek dan teknologi (juga hal-hal lain di belakang perkembangannya yang terlalu cepat), sebagai agensi dari arsitektur, berada pada tegangan yang kritis. Gagasan mereka untuk menempatkan kembali manusia sebagai aktor utama dalam konsep ruang dan menyoroti peran arsitektur dalam pembentukan ruang publik menjadi sangat relevan terhadap tantangan arsitektur saat ini.

Menanggapi tema tersebut, tim kurator Indonesia mengajukan sebuah proposal berjudul: “Sunyata: The Poetic of Emptiness”. Mereka mulai dengan sebuah pertanyaan: Bagaimana jika arsitektur tidak memiliki bentuk dan wujud? Jawabannya adalah: Terbebaskan.

Sunyata (bahasa Sanskerta) diterjemahkan sebagai “kekosongan” dan “kehampaan”; merupakan bentuk kata benda dari kata sifat sunya atau shunya. Sunya juga bisa berarti “nol”, “kosong” atau “batal”. Dalam uraian lebih lanjut dijelaskan bahwa Sunyata bertujuan untuk menunjukkan produksi ruang arsitektur yang merangkul “kekosongan” sebagai metode untuk membebaskan pengalaman spasial dari penindasan grid.

Dengan “mengurung udara” di atas tanah menggunakan selembar kertas, abstraksi Sunyata dibangun. Kekosongan hadir sebagai agensi spasial yang menciptakan kekuatan surealis yang memeluk penonton: waktu terasa melambat, gerak surut, pemahaman kita akan skala terganggu. Manusia menjadi sadar akan sebuah “semesta” baru. Dalam Sunyata, manusia kembali menjadi subyek bebas yang mengalami ruang sebagai sebuah “kejadian”.

Konsep ini ditangkap dengan tepat oleh Achmad D. Tardiyana, salah satu juri. Dalam penjelasannya ia mengatakan, “Imaji kekosongan yang direpresentasikan oleh gambar garis melengkung sepenuh halaman, dengan bidang putih di bagian atas dan hitam di bagian bawah, memaksa saya untuk berhenti dan membaca teksnya. Di antara proposal yang lain, Sunyata menyampaikan pesan yang sangat kuat tentang cara pandang Timur di mana kekosongan memiliki arti yang lebih dalam dibandingkan dengan wujud. Proposal ini punya peluang untuk menawarkan arsitektur yang bebas, tanpa dibebani konotasi politik atau apapun di luar dirinya, tapi murni berasal dari dalam. Ruang – dalam kasus Sunyata, punya peluang membebaskan arsitektur untuk direspon secara kontemplatif oleh pengamat atau pengunjung pameran.”

Meski tampak sederhana, konstruksi kertas ini ternyata membutuhkan pengerjaan yang sangat teliti dan detail. Delapan arsitek, termasuk para anggota kurator, terlibat dalam pemasangannya. Lembar besar itu terdiri dari untaian lembar-lembar yang lebih kecil yang harus disambung satu sama lain dengan kancing kertas yang dibuat sendiri. Kaitan ke besi penggantung harus dijahit satu demi satu. Kontraktor setempat hanya dilibatkan untuk pekerjaan “kasar”, seperti penggantungan akhir, pembuatan ramp, tangga, dan pedestal, pekerjaan elektrikal dan mekanikal, dan pemasangan lampu. Pemimpin tim kurator, Ary Indra, menghitung total waktu yang dihabiskan untuk pekerjaan pemasangan rangkaian “kertas toilet paling panjang di dunia” itu adalah satu bulan.

Seperti biasa, dalam setiap Biennale, polemik selalu terjadi. Selain dari euforia para pendukung, suara sinis juga terdengar. Seperti yang ditulis oleh Alessandro Bava dalam artikelnya, “This is not an exhibition”, di e-flux.com. Kali ini, tema kuratorial utama, Freespace, dianggapnya terlalu lebar untuk bisa menyajikan pameran yang koheren dan kohesif dari 71 negara peserta, belum lagi ditambah dengan arsitek-arsitek internasional yang diundang secara khusus oleh Farrell dan McNamara.

Selain itu, respon terhadap tema utama juga dinilai terjebak di antara dua ekstrim: tampilan arsitektur melalui bahasa yang mapan dan bergantung pada teknik operatif abstraksinya (yaitu gambar, model, atau fragmen), atau instalasi  tentang arsitektur, ruang, bangunan, atau konsep apa pun yang dapat didefinisikan sebagai "arsitektur." Pameran Arsitektur Internasional Biennale ini tampaknya hilang di suatu tempat di antara keduanya: sebagian besar arsitek berimprovisasi sebagai seniman instalasi, memaksakan konsep mereka ke dalam kerangka  tiga dimensi yang cenderung bisu, dan tergantung sepenuhnya pada teks penjelasan di dinding.

Masih ada sekitar enam bulan untuk menangguk opini lain tentang perhelatan besar ini. Pameran yang dibuka tanggal 25 Mei lalu baru akan berakhir 25 November 2018 nanti.

Kembali ke Paviliun Indonesia, pertanyaan lanjutan dari keikutsertaan kita dalam acara internasional yang mencurahkan kreativitas, waktu kerja dan tenaga, juga biaya yang tak sedikit, adalah bagaimana agar hal ini bisa berdampak positif terhadap perkembangan arsitektur di Indonesia, tidak hanya sebagai industri kreatif, namun juga sebuah wacana budaya. Menjawabnya, kita butuh lebih dari selembar kertas kosong.

Koleksi arsip ini terdiri dari foto-foto dokumentasi Paviliun Indonesia, dokumen konsep, dan gambar kerja tim kurator.