Segar Bugar: Meramu Masa Lalu, Mengimajinasikan Masa Depan

Oleh: Gregorius Jasson | Rabu, 11 Desember 2019

Ada yang berbeda dalam pameran arsip konservasi dari Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) pada 24 Oktober-24 November 2019 lalu. Selain arsitektur, sejumlah materi sejarah dalam medium lain turut ditampilkan, mulai dari koleksi foto lawas, ilustrasi poster dan iklan, kliping karikatur, artikel surat kabar, buku-buku, hingga replika patung. Empat karya seni instalasi video juga disisipkan, menampilkan subjek dan citra terkait kehidupan sehari-hari pada objek konservasi di Jakarta.

Gagasan awal pameran ini bermula dari duet maut punggawa PDA, Ria Febriyanti dan Nadia Purwestri. Mereka merespon tawaran yang diberikan oleh DutchCulture dalam menyambut 400 tahun hubungan Indonesia-Belanda. Alih-alih menyajikan pameran yang hanya fokus pada peninggalan kolonial, Ria dan Nadia tertarik untuk menelisik isu konservasi dari kaca mata lain. Mereka mengajak kolaborator di luar skena arsitektur untuk menafsir ulang koleksi arsip dan dokumentasi yang sudah dikerjakan PDA sejak 2002. Oleh karena itu, Rux dipilih sebagai kolaborator yang dipercaya untuk memproduksi sekaligus mengkurasi pameran. “Kami ingin pameran ini populer, bisa diterima publik yang lebih luas”, tantang Ria Febrian.

Ayos Purwoaji, salah satu kurator pameran, memaknai proyek ini sebagai refleksi atas berbagai wacana konservasi yang terjadi di Indonesia. Bersama Rifandi Nugroho, Segar Bugar dipilih sebagai judul utama. Pemilihan kata itu bukanlah tanpa alasan. Mereka melihat kegiatan konservasi sebagai usaha untuk memulihkan "kebugaran" imajinasi pada berbagai situs bersejarah yang ada. Dengan racikan yang sesuai konteks masing-masing, khasiat konservasi yang sejalan dengan kebutuhan bisa didapatkan, seperti ketika kita meminum jamu.

Pameran Segar Bugar juga menyoroti kompromi dan adaptasi kegiatan konservasi dari masa ke masa, yang tidak lepas dari pengaruh agenda rezim di tiap zaman. Lewat konservasi, penguasa membangun memori publik, menyeleksi apa yang perlu diingat dan dilupakan dari masa lalu. Berangkat dari hipotesa ini, kurator memetakan sejarah konservasi di Indonesia dalam empat babak: periode Hindia Belanda (1920an – 1942), masa pendudukan Jepang (1942-1945), awal kemerdekaan (1945–1960-an), dan pasca orde baru (1970-an–sekarang).

Kesadaran untuk mendokumentasikan warisan sejarah, temuan arkeologis, dan kebudayaan mulai muncul menjelang akhir kolonialisme Belanda pada abad ke-19. Ditandai dengan digunakannya medium fotografi untuk dokumentasi sejak 1850an, disusul pendirian lembaga ilmu pengetahuan pertama pada tahun 1910, dan penerbitan Undang-Undang No. 238 tahun 1931 yang mengatur Pelestarian Monumen Bersejarah (Monumenten Ordonnantie) di Hindia Belanda.

Tak berhenti di kalangan elit-cendikiawan, pemerintah kolonial juga berusaha menggapai publik lewat hajatan kebudayaan, seperti Kolonial Expo Semarang (1914), Pameran Agrikultur Magelang (1924), serta publikasi jurnal ilmiah Djava Instituut. Segala cara dilakukan untuk membekukan temuan bersejarah sebagai koleksi milik mereka. Meskipun pada akhirnya usaha-usaha tersebut meluntur ketika Jepang mengokupasi Indonesia dan wilayah lain di Asia Tenggara.

Di bawah komando militer Jepang, ingatan kolektif masyarakat diseleksi ulang. Nama-nama jalan dan tempat berbahasa Belanda diganti menjadi Bahasa Indonesia atau Jepang, monumen-monumen dan tugu-tugu kolonial diruntuhkan, dan bangunan-bangunan publik dialihfungsikan. Seperti yang terjadi pada kawasan situs Candi Borobudur, tempat ini dijadikan arena di mana Pasukan Berani Mati Indonesia diasah kepiawannya dalam bertempur. Begitu pula Gereja Imanuel, bangunannya dikonversi menjadi tempat persembahan terhadap arwah pahlawan yang mati di medan perang. Meski tak banyak membuat bangunan baru, pada bangunan yang lama justru Jepang menanamkan ingatan baru.

Agenda konservasi kembali berubah drastis pasca kemerdekaan Indonesia. Di bawah kepemimpinan Sukarno, penghancuran monumen dan bangunan kolonial kerap terjadi di ibukota. Strategi pembebasan ingatan ini disusul pelaksanaan Pembangunan Semesta Berencana, berupa pembangunan proyek-proyek publik seperti seperti Kompleks Olahraga Gelora Bung Karno (1955-1962), Bundaran dan Hotel Indonesia (1958-1962), Masjid Istiqlal (1962-1978), Lingkar Semanggi (1958-1962), Monumen Nasional (1961-1975), dan Pusat Perbelanjaan Sarinah (1963-1965). Rangkaian pembangunan nasional itu dilakukan demi menunjukan kekuatan dan identitas Indonesia yang baru merdeka di mata dunia.

Selepas Orde Baru, wacana konservasi tidak lagi tunggal. Berbagai pihak, baik pemerintah, instansi swasta, komunitas, maupun masyarakat umum, berupaya mengimajinasikan ulang objek-objek bersejarah dengan beragam narasi. Sebagian melakukan konservasi sebagai upaya formal untuk merajut ulang kenangan masa lalu, seperti yang dilakukan Ali Sadikin dalam proyek konservasi dan revitalisasi Kota Tua Jakarta 1972 serta konservasi yang dilakukan JOTRC pada tahun 2015-2016. Sebagian lainnya melakukan konservasi lewat laku, mengingat rasanya, meskipun tidak terlalu mementingkan bentuknya. Seperti yang dilakukan Komunitas Sepeda Ontel Kota Tua, anak-anak muda yang membuka usaha di bangunan lama, atau komunitas-komunitas lain yang menjadikan lokus sejarah sebagai pusat kegiatan.

Terakhir, yang tak kalah penting sebagai daya tarik pameran ini, beberapa seniman mencoba menginterpretasi ulang sejarah konservasi ke dalam medium lain. Reza Afisina dan Iswanto Hartono membuat video yang merespon impresi pendudukan Jepang. Di sisi lain, Raslene membuat proyeksi tiga video di layar cekung, diambil dari potongan-potongan film berlatar kota Jakarta pada tahun 1950 hingga 1960an. Di belakangnya, Angga Cipta memproyeksikan secara interaktif perkembangan jaringan jalan di Jakarta dari sejak didirikannya Batavia. Sedangkan Ari Rusyadi menutup pameran dengan video dokumenter berjudul “Everyday Heritage”, berisi percakapan dan tangkapan gambar kehidupan sehari-hari pengguna bangunan bersejarah di Jakarta.

Pada akhirnya, terlepas dari gejolak dinamika agenda konservasi yang telah terjadi, Segar Bugar menantang pemahaman publik tentang praksis konservasi arsitektur di Indonesia. Alih-alih menegaskan, publik dan pelaku konservasi diajak mempertanyakan kembali wacana-wacana yang sudah ada: Narasi pelestarian seperti apa yang benar-benar sesuai dengan karakter masyarakat kita? Kenapa kita harus melakukan konservasi dengan mengembalikan bentuk aslinya semetara ingatan tentangnya tidak lagi utuh?

--

Produksi

Pusat Dokumentasi Arsitektur


Kurasi dan Desain 

Rux

 

Program

DutchCulture, with the support of the Kingdom of the Netherlands

 

Didukung Oleh

Museum Bank Indonesia

 

Koordinator Proyek
Nadia Purwestri

Koordinator Acara
Febriyanti Suryaningsih

Kurator
Ayos Purwoaji
Rifandi Septiawan Nugroho

Seniman
Angga Cipta
Ari Rusyadi
RAIH (Reza Afisina & Iswanto Hartono)
Raslene

Peneliti
Eko Mauladi
Trisha Karina Lahu

Desain Grafis
Muhammad Iqbal
Arief Zulfikar

Desainer Pameran
Studio.talk

Produksi Pameran
SERRUM

Dokumentasi dan Tim Dukungan
Dien Nurhayati
Fairuz Alfira Sayyidah Salsabila
Galuh Anisa Putri
Kemaludin Sumintardja
Martinus S. Cahyono
Ummu Indra Pertiwi
Yasmin Zahra Azizah

Administrasi
Esti Handayani
Muniyarti Jakub