Monumen Irian Barat: Simbol Mobilisasi Massa Ala Soekarno

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Rabu, 18 Juli 2018

Perjalanan merebut wilayah kedaulatan Indonesia harus melalui jalan terjal sejak awal kemerdekaan. Konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi melawan Belanda terus terjadi sepanjang Revolusi Fisik 1945 hingga 1949. Negosiasi tentang batas teritorial Indonesia dalam tiga perundingan – Linggarjati (1947), Renville (1948), Roem Royen (1949) – belum menemukan titik terang. Atas desakan pihak internasional, ketegangan dan kekerasan yang berlarut-larut itu harus segera diakhiri melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) di bulan November 1949, guna mempercepat proses penyerahan kedaulatan Indonesia dari Belanda. Momentum ini dimanfaatkan pemerintah Indonesia untuk mengambil alih seluruh wilayah yang pernah dikuasai Belanda. Namun pihak Belanda enggan melepaskan Irian Barat atas dasar perbedaan etnis penduduk.

Jalan damai selama hampir satu dasawarsa pasca Konferensi Meja Bundar pun belum berhasil membebaskan Irian Barat dari bayang-bayang imperialisme Belanda. Pemerintah Indonesia kemudian memutuskan untuk menempuh jalan lain, mulai dari nasionalisasi perusahaan Belanda di tahun 1957, hingga mobilisasi massa melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) di tahun 1961. Untuk mengukuhkan mobilisasi secara simbolik, Monumen Pembebasan Irian Barat dibangun di Jakarta yang diresmikan satu hari setelah peringatan kemerdekaan Indonesia di tahun 1963.

Peletakan Monumen Pembebasan Irian Barat mendapatkan tempat yang cukup istimewa. Selain Monumen Nasional, ia adalah satu dari dua monumen di Jakarta yang ditempatkan di lapangan terbuka yang luas. Tepatnya di Lapangan Banteng, sebuah ruang publik yang kerap menjadi tempat alih simbol penguasa lintas generasi. Besar kemungkinan Lapangan Banteng dipilih oleh Soekarno untuk mengisi ruang monumental yang – baik secara fisik maupun mental – sudah tersedia sebelumnya

Pada abad ke-19, di Lapangan Banteng, pemerintah Hindia Belanda memantapkan kuasanya dengan mendirikan patung singa sebagai representasi kemenangan perang Waterloo dan patung Jean Pieterszoon Coen sang Gubernur Jenderal VOC pencetus nama kota Batavia. Sementara di tahun 1942, Jepang meruntuhkan keduanya demi memberangus bayang-bayang Belanda di Indonesia. Selepas kemerdekaan, di tempat yang sama dan dalam situasi mendesak, Soekarno melakukan pola simbolisasi serupa dengan memulai pembangunan proyek Monumen Pembebasan Irian Barat pada tahun 1962.   

Friedrich Silaban (1912-1984) terlibat sebagai arsitek perancang Monumen Pembebasan Irian Barat melalui penugasan langsung dari presiden. Pada gambar rencana situasi yang dibuat F. Silaban, terdapat catatan bahwa dirinya tidak puas dengan posisi as monumen yang tidak tepat di tengah lapangan karena mengikuti aksis Jalan Perwira di sisi barat daya. Usulan penggeseran as Jalan Perwira ke sisi utara tidak disetujui oleh presiden sehingga pada akhir catatannya F. Silaban menuliskan:

“P.J.M. (Pejabat Jang Moelia) Presiden tidak menganggap perlunya pergeseran as Jalan Perwira itu, sehingga monumen tetap berdiri di atas as lama Jalan Perwira dengan menerima tidak sentrisnya letaknya monumen!”  

F. Silaban membuat dua varian rancangan arsitektur monumen. Satu rancangannya menggunakan ramp, sedangkan varian lainnya menggunakan tangga untuk akses sirkulasi vertikal. Selebihnya tidak ada yang berbeda, bangunan dua lantai dengan tinggi antar lantai tiga meter berisi ruang-ruang kosong tanpa sekat, dua belas kolom persegi panjang dilapis marmer, serta satu buah struktur portal tinggi untuk menopang patung di bagian paling atas. Varian rancangan yang menggunakan ramp kemudian dipilih presiden Soekarno.

Pada gambar rancangannya, bangunan beserta ramp di kedua sisinya memiliki total panjang 76 meter dan lebar 17 meter. Tinggi total bangunan podium adalah 6 meter, ditambah tinggi portal landasan patung 23,5 meter dan tinggi keseluruhan patung 8 meter. Seluruh bagian bangunan dilapis marmer lokal seperti yang terpasang di Masjid Istiqlal. Lantai atap podium dilapis keramik dengan sudut kemiringan ke arah kolom terluar sehingga pipa-pipa air hujan dapat disembunyikan ke dalam kolom bangunan. Dua buah ramp menghubungkan podium langsung ke lapangan terbuka di sekelilingnya menggunakan railing berbahan alumunium diadoniseer.   

Patung Pemembebasan Irian Barat dibuat menyerupai figur manusia yang mematahkan rantai dari kedua tangan dan kakinya dengan orientasi ke arah Barat. Menurut pernyataan Edhi Sunarso, Bung Karno ingin membuat pernyataan kepada dunia Barat yang masih ingin terus berkuasa di Indonesia, selain memang terlihat jelas bahwa patung itu sengaja dibuat menghadap ke arah Monumen Nasional oleh F. Silaban. Soekarno berpose memberi contoh bentuk patung yang diinginkannya di Istana Merdeka, sembari berteriak “seperti aku ini lho, bebas!”, sementara Henk Ngantung dan Edhi Sunarso langsung membuat sketsa.  

Pengerjaan patung dilakukan di Yogyakarta oleh Edhi Sunarso mulai dari pembuatan model, proyeksi skala garis, dan pengecoran perunggu. Prosesnya tidak menemukan kesulitan berarti karena para tenaga kerja sudah berpengalaman dengan Monumen Selamat Datang sebelumnya. Masalah datang pada proses pemasangan patung karena ukurannya yang tinggi itu dibagi dalam beberapa bagian dengan berat masing-masing sekitar 100 kilogram. Pemasangannya dilakukan dengan menggunakan alat takel yang hanya memiliki kemampuan angkat setinggi enam meter, tidak ada crane yang bisa membuat pekerjaan lebih mudah saat itu. Pekerjaan tersebut selesai dalam waktu satu tahun sejak pembuatan model hingga pemasangan.

Selain pembebasan Irian Barat, setidaknya ada dua kejadian penting lain yang melekat pada ruang itu yang dikenal dengan istilah Peristiwa Lapangan Banteng. Pertama, bentrokan besar pecah saat sebuah organisasi massa melakukan demonstrasi menuntut tindakan hukum atas kasus penistaan agama pada bulan Februari 1954 hingga mengakibatkan satu orang kapten petugas keamanan tewas di tempat. Kedua, tragedi pada 18 Maret 1982, ketika simpatisan kampanye partai Golkar terlibat bentrok dengan simpatisan partai lain yang sedang melintas hingga berujung pada kerusuhan besar dan penjarahan di luar lapangan. Tegangan-tegangan semacam itu sering terjadi dalam suasana pembentukan demokrasi di ruang publik.

Bagi masyarakat di negara yang baru merdeka kala itu keberadaan ruang publik seperti Lapangan Banteng memiliki peran penting. Ia menampung aktivitas yang melibatkan massa dalam jumlah besar, menjadi penanda yang menghubungkan ingatan kolektif masyarakat akan kejadian yang melekat di dalamnya, dan menjadi latar tempat bagi berbagai catatan sejarah. Sebaliknya, bagi penguasa, ruang itu dapat menjadi medium untuk menyampaikan pesan dan gagasan. Ruang publik menjadi cair untuk berbagai urusan, jika masing-masing memainkan peran.

Arsip ini adalah koleksi Friedrich Silaban yang terdiri dari foto-foto proses konstruksi dan kunjungan Presiden Soekarno serta dokumen gambar rancangan arsitektur Monumen Pembebasan Irian Barat.