Mengirim Semen dari Gresik ke Istiqlal

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Jumat, 22 Februari 2019

Sepanjang tahun 1973, panitia pembangunan dan kontraktor Masjid Istiqlal tengah sibuk menyelesaikan pengecoran dak atap, koridor, teras emper raksasa, menara, dan kubah serambi utama masjid. Setiap bulan, proyek ini membutuhkan 5000-7000 zak semen yang dikirim langsung dari Gresik, sebuah kota kecil sejauh 750 kilometer dari Jakarta. Untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, pabrik Semen Gresik harus meningkatkan jumlah produksinya hingga tiga kali lipat. Pengiriman rutin dilakukan dengan menggunakan kereta khusus yang disediakan oleh Jawatan Kereta Api, sehingga kualitas semen yang dibutuhkan kualitasnya masih terjaga.

“Dalam hubungan ini, kami sekali lagi mengingatkan Saudara kepada isi surat kami tanggal 12 Juni 1973, yakni mengenai mutlaknya pemakaian Semen Gresik yang segar untuk Proyek Masjid Istiqlal dan penghindaran diri dari penimbunan Semen Gresik di gudang-gudang P.N. Adhi Karya yang berada di Proyek Masjid Istiqlal,” demikian perintah yang tertulis dalam surat Pimpinan Pelaksana Pembangunan Masjid Istiqlal pada P.N. Adhi Karya 2 Juli 1973.

Fokus panitia pembangunan dan kontraktor saat itu tidak sekedar menyelesaikan target pembangunan sesuai jadwal, tetapi juga memobilisasi sekaligus menjaga kualitas material dalam jumlah yang sangat besar. Di awal tahun itu, 15.000 zak semen di gudang kontraktor sempat memperlihatkan tanda-tanda pengerasan. Pihak kontraktor memohon kepada panitia pembangunan untuk mengeluarkan ribuan zak semen tersebut dan diganti dengan semen terbaru, sementara yang tidak terpakai bisa digunakan untuk proyek-proyek kontraktor lainnya. Panitia pembangunan menyetujui permohonan tersebut, bahkan menegaskan agar betul-betul menjaga kualitas kekuatan bangunan dengan menggunakan semen yang masih segar, mengikuti arahan F. Silaban.

Memenuhi tuntutan tersebut membutuhkan kepresisian waktu tingkat tinggi. Semen harus datang sesuai dengan pola waktu kerja kontraktor di lapangan. Pengiriman terlalu cepat membuat semen mengering di gudang, sementara yang terlambat bisa membuat pekerjaan tertunda. Padahal saat itu Semen Gresik hanya menjual produknya lewat distributor dengan jadwal pengiriman rutin yang sudah diperhitungkan. P.N. Adhi Karya kemudian berkoordinasi dengan Perusahaan Jawatan Kereta Api Eksploitasi Jawa Timur, memohon bantuan gerbong khusus untuk mengangkut 26.000 zak semen sepanjang September hingga Desember 1973. PJKA menyanggupi permintaan itu dan melanjutkan pengiriman 20.200 zak semen di awal tahun 1974 untuk pekerjaan-pekerjaan tambahan.

Semen Gresik menjadi pabrik pertama dan satu-satunya di Pulau Jawa yang sangat diandalkan oleh proyek-proyek pembangunan di awal kemerdekaan, khususnya pada dekade 1960-an. Pada periode tersebut berbagai angan-angan proyek yang digagas di tahun 1950-an baru betul-betul bisa dieksekusi, termasuk Masjid Istiqlal. Sebelum ada Semen Gresik pada tahun 1957, distribusi semen di seluruh Indonesia hanya mengandalkan suplai dari pabrik Semen Indarung (Semen Padang) yang berdiri sejak 1910 dengan nama NV Nederlandsch Indische Portland Cement Maatschappi (NV NIPCM) di pulau Sumatera.

Kehadiran Masjid Istiqlal dan Semen Gresik telah memberi hubungan timbal balik yang sejalan dengan visi pembangunan nasional saat itu. Bagi Semen Gresik, pembangunan Masjid Istiqlal mampu mendorong perkembangan industri semen di Indonesia dengan meningkatnya kapasitas produksi dan nilai penjualan. Sebaliknya, Semen Gresik tidak hanya memberikan bahan baku bangunan yang lebih terjangkau bagi Masjid Istiqlal, namun juga memunculkan kesadaran cara membangun yang baru.

Pada koleksi arsip foto-foto F. Silaban sepanjang tahun 1973 ini kita bisa melihat wajah Masjid Istiqlal yang hampir rampung, kerangka-kerangka di balik tubuh bangunan yang saat ini masih bisa kita saksikan kekokohannya.