Lebih Santai Menikmati Modernitas Jakarta

Oleh: Adelia Andani | Selasa, 3 Desember 2019

Perpaduan antara taplak bermotif bunga merah jambu, kursi-kursi bakso biru elektrik, serta tumpukan stiker jalanan dan pamflet iklan bukanlah benda-benda yang lumrah di Kopi Manyar. Namun, pada 24 Oktober hingga 15 November lalu, kedai kopi yang klimis dan dominan warna monokrom itu merelakan ruangnya untuk “diacak-acak” pameran Occupying>Modernism. Bekerjasama dengan perancang ruang pamer, FFFAAARRR, dan perancang visual, gemasemesta.co, Kopi Manyar diokupasi suasana jenaka dan santai selama 22 hari.

Jantung dari pameran ini terletak pada area galeri. Di dalamnya berjajar stiker biru di bagian atas dinding, bertuliskan delapan nama: Masjid Istiqlal, Monumen Nasional, Rumah Silaban, Gelora Bung Karno, Gedung Pola, Bundaran HI, Rumah Adhi Moersid, dan Studio Cahaya. Jajaran foto, sketsa, gambar arsitektur, artikel, tulisan, kliping, buku, hingga kaleng kerupuk ditampilkan tanpa kaidah yang formal. Beberapa terpasang di dalam lemari kaca layaknya mading sekolah, diletakkan di atas ambalan serupa meja warteg, atau dibiarkan bergelayutan pada dinding dan kolom ruangan. Tidak ketinggalan, kursi-kursi bakso biru elektrik yang menjadi ikon dari pameran berdesakan mengisi ruang kosong di tengah galeri.  

Lima bangunan publik dan tiga hunian di Jakarta itu dipilih oleh kurator Setiadi Sopandi dan Avianti Armand, merespon tantangan dari Encounters with South East Asian Modernism (SEAM Encounters). Proyek ini merupakan bagian dari peringatan 100 tahun BAUHAUS, yang mencoba mengamati sisi lain modernisme di Asia Tenggara, khususnya di era pasca-kemerdekaan. Selain Jakarta, pameran juga berlangsung secara bergantian di tiga kota lainnya, yakni Phnom Penh, Yangon, dan Singapura.

Di Jakarta, objek arsip arsitektur modern disajikan sedekat mungkin dengan suasana sehari-hari. Sebagaimana tertulis dalam catatan kuratorial, pameran ini merepresentasikan “bagaimana kita menduduki – merayakan, menggunakan, mengagumi, merawat, mengganggu, merusak, meninggalkan, membenci, mengabaikan, dan menemukan kembali – ruang-ruang modern kita.”  Oleh karena itu, tanda > (lebih besar dari) hadir di antara Occupying dan Modernism. Menjadi simbol bahwa modernisme di arsitektur kita tidak pernah menjadi dominan ketika sudah berhadapan dengan variabel waktu dan penggunanya.

Selain arsip dan dokumentasi, empat seniman diundang untuk melihat, mengamati, mengalami, dan menanggapi delapan objek tersebut. Masing-masing menyajikan responnya terhadap beberapa bangunan yang sudah diobservasi. Goenawan Mohamad menangkap impresi pada benda, gambar, dan tulisan yang ada di Monas, Studio Cahaya, dan Gelora Bung Karno melalui lukisan dan catatan. Hikmat Darmawan mengkritik pengalaman spiritual dan ingatan tentang modernisme pada bangunan Masjid Istiqlal, Bundaran HI, dan Gedung Pola melalui komik. Alvin Tjitrowirjo merekam momen sehari-hari di Bundaran HI, Monas, dan Rumah Silaban melalui foto-fotonya. Sedangkan Cecil Mariani menuangkan ingatan dan kritik personalnya terhadap fenonema kecil yang terlupakan di bangunan Gelora Bung Karno, Studio Cahaya, dan Rumah Adhi Moersid lewat instalasi objek.

Dengan penyajian yang terbuka, pameran ini mengizinkan, bahkan mengundang pengunjung berinteraksi dengan materi-materi yang dipaparkan. Mulai dari mengintip komik Hikmat Darmawan, membolak-balik arsip di mading, atau sekadar mengamati semut-semut yang berbaris mengerumuni bakpao pada instalasi Cecil Mariani.  

Beberapa kegiatan hiburan juga dilaksanakan di area galeri selama pameran berlangsung. Jika paparan materi merepresentasikan gagasan tentang okupasi, maka kegiatan-kegiatan hiburan ini mewujudkan praktik okupasi itu sendiri terhadap galeri Kopi Manyar. Kegiatan tersebut antara lain Turnamen Capsa (6/11), lokakarya “Spontan Desain” (9/11), nonton bareng film "Tiga Dara" (10/11), ditutup dengan ngobrol-ngobrol santai membicarakan arsitektur dan produk-produk desain modern (15/11).

Dalam kegiatan-kegiatan ini yang menjadi titik berat bukanlah arsitekturnya saja, melainkan peran aktif pengguna dalam menikmati dan merespon ruang yang tersedia. Lewat intervensi kegiatan, dekorasi, serta penyajian materi yang sedikit nakal, setidaknya kita bisa memahami bahwa arsitektur bisa dinikmati dengan cara yang santai dan apa adanya.

--

Kurator:

Setiadi Sopandi & Avianti Armand

Asisten Kurator:

Rifandi Nugroho

Manager Produksi:

Febriyanti Suryaningsih, Nadia Purwestri

Tim Produksi:

Adelia Andani, Yasmin Azizah

Produser:

arsitekturindonesia.org

Desain Arsitektur: 

FFFAAARRR: Andro Kaliandri, Azalia Maritza, M. Faugiansyah Alwi, Syifa Binaditia

Desain Grafis:

Gemasemesta.co: Gema Semesta, Kinanti Della Mare, Reinanno Zantara

Seniman:

Alvin Tjitrowirjo, Cecil Mariani, Goenawan Mohamad, Hikmat Darmawan

Dokumentasi:

William Sutanto, Rizki Ramadhani

 

Occupying > Modernism adalah bagian dari “Encounters with Southeast Asian Modernism” memperingati 100 tahun Bauhaus.