Berjaya di Udara, Dikenang di Kota: Markas Besar TNI Angkatan Udara

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Jumat, 5 Oktober 2018

Kawasan Simpang Pancoran pada dekade 1960an merupakan wilayah terpadu yang menampung aktivitas Angkatan Udara Republik Indonesia (TNI AU). Di sana pernah dibangun Markas Besar AURI yang dirancang Friedrich Silaban pada tahun 1962-1964, Monumen Dirgantara yang dibuat Edhi Sunarso pada tahun 1964-1970, dan kompleks perumahan anggota AURI. Letaknya hanya berkisar 6,7 kilometer dari Landasan Udara Halim Perdanakusuma, dengan dihubungkan oleh Jalan Jakarta Bypass (kini Gatot Subroto) yang juga diresmikan di awal 1960an.

Sukarno memang memiliki ambisi pribadi pada perkembangan dirgantara Indonesia. Dalam beberapa pidatonya seringkali Sukarno berseru, bahwa untuk menyatukan bangsa yang besar, yang terdiri dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke, pola pikir “airminded” di abad ke-20 menjadi sebuah keniscayaan. Dengan cara demikian Indonesia akan dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya sendiri serta memberi sumbangsih bagi kehidupan seluruh bangsa di dunia.

Gagasan pembangunan fisik di kawasan Pancoran pun tidak lepas dari pengaruh hubungan Sukarno dengan TNI, khususnya Angkatan Udara, yang sepanjang tahun 1950an hingga awal 1960an menorehkan berbagai prestasi dalam mempertahankan wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Kekuatan mereka di udara amat diandalkan, mulai dari operasi penumpasan pemberontak PRRI/Permesta, Republik Maluku Selatan, dan DI/TII hingga perebutan wilayah Irian Barat (Trikora) dan konfrontasi Indonesia-Malaysia (Dwikora). Atas berbagai pencapaian itu, Angkatan Udara Republik Indonesia menjadi salah satu bala tentara paling disegani di Asia Tenggara saat itu, bahkan pernah disebut-sebut sebagai kekuatan udara terkuat di belahan bumi selatan.

Sebuah petak lahan yang luas di sudut Jalan Raya Pasar Minggu dan Jalan Gatot Subroto dipilih Sukarno untuk menjadi Markas Besar TNI AU. Dalam rangkaian skenario pengalaman visual yang dirancang oleh F. Silaban, seolah-olah bangunan sengaja memberi “jarak” bagi siapapun yang hadir ke dalam markas penjaga udara yang disegani itu. Memasuki wilayah itu, baik kendaraan maupun pejalan kaki langsung dihadapkan pada hamparan tanah lapang yang luas, sebelum mencapai gedung utama setinggi enam belas lantai di sisi utara. Setibanya di gedung utama, pengunjung langsung disambut oleh podium setinggi empat lantai. Lobby bangunan dinaikkan ke lantai dua, dihubungkan oleh dua buah ramp untuk akses ke gerbang depan dan lapangan dalam bangunan.

Di balik gedung utama terhampar sebuah lapangan untuk apel besar, dikelilingi oleh tiga bangunan lain di tiap sisi lapangan. Bangunan sayap selatan dan barat dirancang dengan ketinggian tiga lantai, keduanya berfungsi sebagai gedung komando pangkalan. Sedangkan bangunan tiga lantai di sayap timur mengakomodasi fasilitas penunjang seperti auditorium, kantin, dapur, dan fasilitas lainnya. Gedung utama, sebagai gedung yang paling tinggi, menampung program aktivitas utama Markas Besar Angkatan Udara (M.B.A.U.) dan Dewan Angkatan Udara (D.A.U.).

Selebihnya, sama seperti rancangan F. Silaban lainnya, mengandalkan pendekatan rancangan fungsional, monumental, dan adaptif terhadap iklim tropis. Fungsional dapat terbaca melalui susunan modul per empat meter yang kemudian diinjeksikan program-program ruang, monumental terpaut pada perulangan pilar-pilar tinggi di sepanjang massa bangunan dan skala ruang yang megah, sedangkan adaptif melekat pada penggunaan sirip beton penahan sinar matahari di sekujur fasad bangunan.  

Pada akhirnya hanya satu bangunan yang berdiri, yaitu bangunan tiga lantai sayap selatan, dengan beberapa penyesuaian bentuk. Nasib serupa juga turut menimpa Monumen Dirgantara, yang terpaksa mandek sementara pada tahun 1965 dan dilanjutkan kembali pekerjaannya setahun kemudian. Bahkan, ketika karya Edhi berhasil berdiri pada tahun 1970, tidak ada satu pun acara peresmian dilakukan pemerintah. Kemungkinan, konflik antar matra TNI dalam peristiwa G30S/PKI pada tahun 1965 turut berpengaruh pada iklim pembangunan di kawasan itu.

Belakangan, bangunan Markas Besar TNI AU pun beberapa kali beralih fungsi, mulai dari pusat perbelanjaan Aldiron Plaza di era pemerintahan Orde Baru hingga kantor sewa yang masih bertahan hingga hari ini. Di antara tumpukan jalan layang dan himpitan gedung bertingkat hari ini, memahami makna kawasan yang telah beralih bentuk dan fungsi itu mungkin cukup sulit. Namun, melalui arsip-arsip ini, kita dapat membaca ulang imajinasi-imajinasi pembangunan pada masa kejayaan TNI AU yang turut membentuk wajah kota Jakarta di Simpang Pancoran.

Koleksi arsip bangunan Mabes TNI AU menyajikan berbagai dokumen gambar dan maket rancangan F. Silaban sepanjang tahun 1962-1964 pada proyek yang berjudul “Pra-Rencana Gedung Markas Besar Angkatan Udara R.I. Jalan Mampang Prapatan, Pancoran, Jakarta”.