Beranda Kota di Museum Tua

Oleh: Rifandi S. Nugroho | Senin, 21 Januari 2019

Bukan perkara mudah merancang tipologi museum di Indonesia, apalagi jika museum itu menempati bangunan lawas peninggalan masa lalu. Selain teknis pengelolaan koleksi dan beban sejarah yang tertaut pada bangunan, kurangnya daya tarik bagi masyarakat membuat banyak museum di Indonesia sepi pengunjung. Pada 2011, dengan memenangkan sayembara tertutup, Aboday menawarkan sebuah museum yang lebih terbuka melalui rancangan berjudul “Beranda Jakarta”, sebuah bangunan baru untuk Museum Nasional Indonesia.

“Pada 2010, Museum Nasional Indonesia hanya dikunjungi sekitar 20.000 pengunjung. Fenomena ini terjadi di sebuah kota yang salah satu pusat perbelanjaannya menerima 30.000 pengunjung tiap hari”, tukas Ary Indra dalam salah satu media publikasi arsitektur.

Padahal, sejak awal didirikan bangunan Museum Nasional Indonesia memiliki posisi penting bagi kaum intelektual di Indonesia. Sebagaimana yang tergambarkan dalam pernyataan Gerard Hendrik Uhlenbeck pada 1862:

“Merupakan hari yang bersejarah ketika batu pertama diletakkan di gedung baru untuk perkumpulan. Namun kita akan menjadi lebih bersukacita ketika gedung itu selesai dibangun dan menjadi permata bagi ibu kota di pulau Jawa dan dirayakan secara megah.”

Mulanya bangunan yang berlokasi di sebelah barat Lapangan Medan Merdeka itu digunakan sebagai tempat penyimpanan koleksi sebuah kelompok bernama Perkumpulan Seni dan Ilmu Pengetahuan di Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada 1868. Baru genap berusia dua tahun, Komisaris Gedung Perkumpulan mengusulkan perluasan bangunan, dengan membuat galeri melintang yang menghubungkan sayap utara dan sayap selatan. Pada 1913, ruangan baru kembali ditambahkan di atas arca utama untuk menyimpan koleksi berharga milik perkumpulan. Dengan jumlah koleksi dan kegiatan yang terus menerus meningkat, pada 1996 perluasan gedung tidak terelakkan lagi. Melalui skema perencanaan hasil sayembara, ditambahkan sebuah bangunan baru di sisi utara bangunan—dengan mereplika bentuk museum lama, serta menambahkan bangunan baru di bagian belakangnya.

Alih-alih hanya memperlakukan museum sebagai tempat penyimpanan koleksi yang pasif—seperti yang terjadi sepanjang perkembangannya—Aboday mencoba meyuntikkan kualitas ruang publik pada rancangan baru museum itu, dengan menyisipkan sebuah koridor tertutup berkanopi raksasa sepanjang 125 meter dan tinggi 16 meter di antara dua bangunan lama. Dari halaman muka bangunan itu, pengunjung dibawa turun ke dalam sebuah ruang transparan ekstra tinggi yang membentang dari barat ke timur, disuguhi fasilitas komersial dan atraktif seperti toko buku, ruang pamer, toko museum, restoran, dan rencana terintegrasi dengan sistem transportasi publik kota Jakarta. Setibanya di dalam, pengunjung dihadapkan pada dua pilihan: menetap di sana atau bergerak mengikuti alur ramp ke atas, kemudian berpapasan dengan koridor penghubung bangunan eksisting di sisi utara dan selatan. Tepat di tengah perpotongan dua koridor baru itu, Aboday berangan memindahkan patung gajah perunggu pemberian Raja Chulalongkorn dari Thailand, yang semula ada di halaman depan museum. Gudang penyimpanan, auditorium, restoran, dan fasilitas lainnya juga ditambahkan pada bagian belakang dan atas bangunan lama sayap utara—dengan tegas menonjolkan ekspresi arsitektur baru namun tetap sopan mendampingi bangunan lama.

Pada ilustrasi komik yang dibuat tahun 2013, tertangkap percakapan kerja keras tim Aboday saat berjuang menyelesaikan proyek Museum Nasional Indonesia. Pada proyek ini lah pertama kalinya Aboday menang sayembara sekaligus bergelut dengan klien institusi “pelat merah”. Meskipun membuat sakit kepala, kerja keras yang dilakukan berhasil mengubah stereotipe lawas Museum Nasional Indonesia sekaligus menjadi batu lompatan bagi Aboday.

Koleksi ini menampilkan arsip-arsip tim Aboday yang berhubungan dengan proyek Museum Nasional Indonesia, dalam bentuk komik, gambar ilustrasi, elevasi, potongan, dan sketsa bangunan.