Asian Games 1962: Rakyat Berpesta, Kota Berbenah

Oleh: Robin Hartanto | Selasa, 31 Juli 2018

Pada 1962, Indonesia menjamu tujuh belas negara untuk berkompetisi di ajang Asian Games, pesta olahraga terbesar se-Asia. Kota Jakarta ditunjuk sebagai tempat menyelenggarakan seluruh pertandingan. Kesempatan itu dimanfaatkan sebagai momentum untuk membenah Jakarta. Berbagai pembangunan fisik, dari sarana olahraga, perhotelan, infrastruktur jalan, fasilitas komunikasi, hingga penanda kota, dikerjakan di berbagai sudut kota Jakarta.

Mulanya sebagian anggota Komite Eksekutif Federasi Asian Games, organisasi yang berhak menetapkan siapa yang menjadi tuan rumah, sempat menyangsikan kemampuan Indonesia untuk menjamu pesta olahraga sebesar dan seakbar Asian Games. Keraguan itu bukan tanpa alasan. Kebanyakan fasilitas olahraga di Jakarta waktu itu merupakan peninggalan masa kolonial, seperti Stadion Ikada dan Kolam Renang Manggarai. Sarana akomodasi dan transportasi di ibukota Indonesia itu belum pula handal. Tak disangka-sangka, ketika Federasi Asian Games mengadakan pemungutan suara, Jakarta menang tipis dari Karachi, Pakistan. Jakarta mendapatkan 22 suara, sedangkan Karachi memperoleh 20 suara. Jika waktu itu satu suara saja berganti haluan, maka nasib Jakarta sebagai tuan rumah Asian Games IV bisa lain cerita.

“Ketika Jakarta hanya memiliki Stadion Ikada, kepercayaan Asian Games Federation menjadi kesadaran Indonesia,” demikian kalimat yang tertulis pada laporan akhir pelaksanaan Asian Games IV.

Fokus dari pembangunan fisik saat itu adalah Gelora Bung Karno, kompleks olahraga terpadu yang hingga perhelatan Asian Games IV masih bernama Kompleks Asian Games. Gelora Bung Karno menempati lahan berbentuk trapesium seluas 279 hektar (sekarang tinggal 136 hektar) di daerah Senayan, di antara daerah Medan Merdeka yang menjadi pusat pemerintahan dan kawasan kota satelit Kebayoran Baru. Pada saat itu, sedikit sekali negara yang memiliki kompleks olahraga terpadu. Kompleks Olahraga Atanasio Girardot di Kolombia yang stadion utamanya selesai dibangun tahun 1953 hanya memiliki luas sekitar 30 hektar. Brasil sudah memiliki Stadion Maracanã yang kapasitas stadion utamanya lebih besar, namun sebagai suatu kompleks olahraga, ia tetap kalah ukuran dari Gelora Bung Karno.

Tak hanya suatu bentuk kebanggaan nasional, Gelora Bung Karno juga merupakan wujud kerjasama internasional, dalam hal ini antara Indonesia dan Uni Soviet. Pada November 1959, pihak Indonesia dan pihak Uni Soviet menandatangani kerjasama untuk mewujudkan Gelora Bung Karno. Rencana kawasan Gelora Bung Karno terdiri dari Stadion Utama dengan kapasitas 100 ribu orang, aula bulutangkis yang kemudian dikenal dengan sebutan Istana Olahraga untuk 10 ribu orang, Stadion Renang, lapangan hoki dan atletik terbuka atau Stadion Madya untuk 15 ribu orang, Stadion Basket, Stadion Tennis Utama berkapasitas 5 ribu orang, 3 lapangan tennis terbuka, dan lapangan latihan terbuka. Dari berbagai bangunan tersebut, tim dari Uni Soviet merancang Stadion Utama, Istana Olahraga, Stadion Renang, Stadion Madya, dan Stadion Tennis Utama, selain juga mengatur keserasian tata kawasan.

Penyelenggaraan Asian Games IV turut membuka pintu untuk pembangunan vital lainnya di ibukota yang hingga kini masih menjadi bagian penting dari keseharian masyarakat Indonesia dan terutama warga Jakarta. Hotel Indonesia, Tugu Selamat Datang, Jakarta Bypass (Tanjung Priok-Cawang), Jembatan Semanggi, Jalan Gatot Subroto, Jalan Thamrin-Sudirman (pelebaran), dan Televisi Republik Indonesia: semua sarana dan prasarana ini dapat diselesaikan tepat waktu dengan mengandalkan momentum yang diberikan Asian Games IV. Tidaklah berlebihan untuk menyebut Asian Games IV sebagai titik bersejarah yang mentransformasi wajah kota Jakarta.

Arsip Asian Games menyajikan berbagai laporan resmi dari komite penyelenggara Asian Games IV Jakarta 1962, berisi foto-foto pembangunan, persiapan, buklet acara pembukaan, dan laporan akhir penyelenggaraan Asian Games IV.