Arsitek Muda Indonesia: Media, Sebelum Arsitektur

Oleh: Avianti Armand | Kamis, 3 Mei 2018

Sejarah avant-garde (dalam seni, arsitektur, dan literatur) tak bisa dipisahkan dari sejarah keterikatannya dengan media massa. Bukan saja karena gerakan avant-garde ini menggunakan media untuk mempublikasikan karya mereka, namun karya-karya tersebut bahkan belum ada sebelum publikasinya.

Futurism tidak ada dalam bentuk nyata sebelum publikasi dari “Futuris Manifesto” di halaman depan Le Figaro, surat kabar yang menjadi rujukan utama di Eropa, pada tanggal 20 Februari 1909. Lahirnya Futurism adalah satu jurus jitu seorang marketing genius. Manifesto tersebut bahkan merekrut anggota-anggota kunci dari kelompok futurist ini (Umberto Boccioni, Carlo Carra, Giacomo Balla, Gino Severini, Luigi Russolo, dan lain-lain).

Hal yang sama terjadi dalam arsitektur. Adolf Loos tidak eksis sebagai satu figur publik sebelum tulisannya yang mengundang polemik muncul di halaman-halaman surat kabar dan di dalam majalah kecilnya sendiri, Das Andere, yang hanya sempat terbit dua isu di tahun 1903.

Seperti yang dikatakan oleh Reyner Banham, ketika Loos tiba di Paris, dia sudah terkenal, tapi keterkenalannya itu lebih diakibatkan oleh tulisan-tulisannya – sebagian telah diterjemahkan ke bahasa Perancis – ketimbang bangunan-bangunannya, “yang sepertinya hanya diketahui melalui kabar angin.”

Loos baru tiba di Paris tahun 1922, sementara tulisan-tulisan yang membuatnya terkenal berasal dari masa peralihan abad di Vienna, yang beroperasi bagaikan  manifesto-manifesto radikal (seperti “Architectur” dan “Ornament und Verbrechen”).

Di tahun 1912, Herwarth Walden telah menerbitkan lima artikel yang ditulis oleh Loos dalam majalahnya Der Sturm. Memiliki akses ke halaman-halaman Der Sturm, seperti yang dicatat oleh Banham, adalah memiliki akses ke sedikit pembaca, namun berskala internasional. Melalui saluran inilah kata-kata Loos mencapai Paris. Tulisan-tulisannya kemudian dicetak ke dalam beberapa majalah lain, yang membawanya pada apresiasi dari kelompok Dadaist. Satu-satunya bangunan Loos di Paris adalah sebuah rumah yang dibangun tahun 1926 untuk Tristan Tzara di Montmartre. Kita lihat, Manifesto mendahului bangunan.

Sama halnya dengan Le Corbusier yang tidak dikenal sebelum majalahnya, L’esprit nouveau, diterbitkan di antara tahun 1920 dan 1925, juga buku-buku yang muncul sebagai hasil dari polemik-polemik di dalamnya (Vers une architecture, Urbanisme, L’art decoratif d’aujourd’hui, La peinture moderne, dan Almanach d’architecture moderne). Nama Le Corbusier sendiri  adalah sebuah pseudonim yang digunakannya untuk menulis artikel-artikel arsitektur di L’esprit nouveau. Ia kemudian dikenal sebagai arsitek dan membangun jaringan clientele-nya melalui halaman-halaman majalah ini. Bisa dikatakan bahwa Le Corbusier adalah sebuah efek dari satu set manifesto.

Bahkan seorang arsitek seperti Mies van der Rohe, yang selalu dikaitkan dengan ketukangan dan tektonika, bukan sebagai seorang penulis, mendapat pengakuan itu melalui jurnal G: Material zur elementaren Gestaltung, yang diterbitkan di antara tahun 1923 -1926, juga melalui banyak majalah kecil lain di mana dia berkontribusi, seperti Frühlict dan Merz.

Hal yang kurang lebih sama terjadi sepanjang tahun 1960 dan 1970-an. Banham kerap mengisahkan satu cerita tentang bagaimana sebuah limusin penuh arsitek Jepang tiba-tiba berhenti di jalan di mana ia tinggal dan menanyakan arah menuju kantor Archigram. Tapi Archigram belum lagi ada. Archigram hanyalah sebuah leaflet kecil yang diproduksi di dapur Peter Cook – yang kebetulan tinggal tepat di seberang jalan rumah Reyner dan Mary Banham. Baru beberapa waktu kemudian kelompok arsitek muda (Warren Chalk, Peter Cook, Dennis Crompton, David Greene, Ron Herron, dan Mike Webb) yang bersifat cair ini mengukuhkan diri sebagai Archigram – mengadopsi nama majalahnya.  Archigram sendiri adalah hasil perkawinan dari “architecture” dan “telegram” – sekali lagi, arsitektur diposisikan sebagai sebuah sistem komunikasi.

Pada periode ini juga, terjadi ledakan dasyat lahirnya majalah-majalah arsitektur kecil, yang memprovokasi sebuah transformasi radikal dalam budaya arsitektural dengan menghasilkan banyak manifesto. Kita bisa mengatakan bahwa majalah-majalah kecil di tahun 60-an dan 70-an – bukannya bangunan-bangunan – adalah situs-situs yang melahirkan innovasi dan perdebatan dalam arsitektur.

Jika manifesto dan majalah-majalah kecil mendorong kelahiran bersejarah gerakan avant-garde di tahun 1920-an,  maka 1960-an dan 1970-an menjadi saksi kelahiran kembali dan transformasi dari publikasi-publikasi yang penuh polemik ini. Dalam tahun-tahun tersebut, ada ketertarikan besar pada arsitektur eksperimental saat itu – mulai dari Archigram, the Metabolist, Ant Farm, Superstudio, dan Archizoom; hingga  Haus-Rucker-Co dan yang lain, yang dijuluki “Radical Architecture” oleh Germano Celant di tahun 1972 – tapi manifesto-manifesto dari revolusi tersebut, hampir semuanya, kemudian terabaikan.

Sementara itu, manifesto yang lain muncul dalam bentuk buku, seperti  Complexity and Contradiction in Architecture (Robert Venturi), sebuah  deklarasi diri dalam manifesto yang halus, dan Delirious New York (Rem Koolhaas), dengan sub judul yang mengundang polemik, “a retroactive manifesto”.

Sekali lagi, kita diingatkan bahwa kita tidak saja belajar tentang karya-karya arsitek melalui publikasi-publikasi mereka; manifesto mendahului karya atau bahkan “menyiapkan cetak biru” bagi karya-karya itu. Dan karya lalu dipahami sebagai perpanjangan dari polemik-polemik tersebut.

__

Bisa dikatakan bahwa alasan rasional di belakang terbentuknya kelompok Arsitek Muda Indonesia (AMI) bukanlah ideologi. Mengulang sejarah yang sama,  gebrakan yang dilakukan oleh AMI tidak berupa sebuah terobosan desain atau arsitektur, melainkan penggunaan media dengan berani dan intensif.

Sekitar tahun 1989, arsitek-arsitek muda (rata-rata berusia di bawah 30-an tahun) ini rajin berkumpul untuk berdiskusi dan bertukar pikiran. Yang sesungguhnya menjadi pengikat dari kelompok ini adalah semangat untuk mengeksplorasi desain secara formal. Lebih spesifik: aspek visual dari arsitektur. Karena itu, AMI selalu canggung jika harus berhadapan dengan isu-isu sosial yang melatarbelakangi konteks pada masa itu. Dan ini bertentangan dengan apa yang dituangkan dalam Manifesto mereka pada pameran pertama kelompok ini di tahun 1990:

“…bagi kami Arsitek Muda Indonesia, arsitektur adalah wujud dari penjelajahan desain yang dibekali kepekaan tinggi terhadap situasi-kondisi masyarakat dan lingkungan Indonesia. Dan bagi kami, dasar penjelajahan itu sendiri adalah keakraban dialog antara arsitek dengan masyarakat sebagai keterpaduan gagasan dan kenyataan. Atas dasar inilah kami melangkah…”

Hal yang paling utama yang memprovokasi kehadiran AMI adalah munculnya kelas menengah baru sebagai buah dari kesempatan-kesempatan yang dibuka lebar oleh negara bagi badan-badan swasta untuk ikut ambil bagian dalam pengembangan berbagai sektor dalam perekonomian negara. Ini berdampak pada kebutuhan untuk mengartikulasikan pencapaian ekonomi tersebut ke dalam wujud lingkungan binaan.

Hal lain adalah wacana mengenai identitas “arsitektur Indonesia” yang kembali muncul di tahun 1980-an, yang alih-alih menawarkan pencerahan, malah menjadi sangat politis dan dogmatis. Dua pokok inilah yang kemudian memicu semangat arsitek-arsitek muda ini untuk mencari bentuk-bentuk ekspresi baru melalui pertemuan-pertemuan reguler, forum-forum diskusi, pameran-pameran dan publikasi-publikasi.

Di Indonesia, AMI adalah kelompok arsitek pertama yang secara aktif dan teratur menyelenggarakan pameran dan menelurkan publikasi, aktivitas yang belum pernah dilakukan oleh generasi-generasi sebelum mereka. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut, AMI menjadi sebuah kelompok yang tersohor, terutama di antara mahasiswa yang lapar akan informasi-informasi arsitektur. Meskipun hanya mewakili sebagian kecil dari wajah arsitektur kontemporer di Indonesia pada masa itu, AMI, dengan propagandanya, telah memulai satu babak yang kaya akan “bukti-bukti bergambar” dalam sejarah arsitektur kita. Buku “Penjelajahan 1990 -1995” adalah “batu pertama” dari kelompok ini. Dalam buku ini, tersimpan karya-karya desain dari arsitek-arsitek muda tersebut, yang sebagian besar masih berupa proposal.

Dalam perkembangannya, eksplorasi desain AMI memang tidak mengarah pada upaya untuk mengatasi masalah nyata yang ditinggalkan oleh pendahulu AMI, seperti perumahan untuk orang miskin dan isu-isu perkotaan yang semakin mengakibatkan masalah ketidakadilan spasial. Apa yang mengikat AMI pada akhirnya ditopang dan dimanjakan oleh sekelompok klien tertentu, minoritas kelas atas dan kelas menengah kita.

Meskipun demikian, ada hal-hal yang dapat kita bawa sebagai hasil positif AMI. AMI adalah sekelompok arsitek yang, melalui pameran dan publikasi, telah berhasil membangun generasi muda masyarakat arsitektur yang semakin antusias dalam dunia arsitektur. Bisa dikatakan bahwa kehadiran AMI mendorong maraknya publikasi arsitektur di Indonesia, dalam berbagai bentuk. Arsitektur seketika menjadi sesuatu yang punya nilai jual di media massa, belum  sebagai obyek kritik, melainkan obyek estetik.

Mereka juga berhasil mengembangkan diri menjadi arsitek dengan kefasihan geometri yang luar biasa. Hampir semua anggota lingkaran dalam AMI masih aktif bekerja secara individual hingga hari ini, dan masing-masing telah menemukan garis desain dan karakter mereka dengan kuat. Dapat dikatakan bahwa "lulusan" AMI, seperti Andra Matin, Yori Antar, Achmad Tardiyana, Sonny Sutanto, Irianto Purnomo Hadi, Sarjono Sani, Muhammad Thamrin, Achmad Noerzaman, Baskoro Tedjo, Bambang Eryudhawan, Gatot Suradjo, dan lain-lain, adalah tokoh-tokoh yang mempengaruhi dan membentuk lansekap arsitektur Indonesia saat ini.